KATA PENGANTAR
Hamdan wa syukran laka ya robbi,senantiasa tercurah dari bibir kami,yang mana pada kesempaan kali ini kami masih dikarunia setitik rahmat yang begitu sangat berarti sekali,sehingga,kini kami dapat merampungkan makalah yang sengaja kami tulis untuk memenuhi tugas Materi “Puisi”. semua merupakan rahmat dan taufiq serta inayah-Nya semata.
Solatan wa salaman dhaimain mutalazimain ila yaumil-zdiham,Mudah-mudahan tetap tercurah limpahkan pada haribaan sang revolusioner dan tokoh reformis terkemuka pada beberapa abad yang silam,Nama kebesaran beliau telah termaktub dalam buku legendaris dunia,sepak terjang beliau sempat mendongakkan kepala tokoh-tokoh filsafat, para sejarawan dan politikus terkemuka,serta beliaulah yang telah mereformasi alam kejahiliaan menjadi lembaran alam yang penuh dengan nur ilahi yang telah kita rasakan selama ini,Beliau adalah baginda kita Nabi besar Muhammad SAW.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Puisi adalah salah satu genre dari karya sastra. Karya sastra pada umumnya adalah bentuk seni yang diejawantahkan dalam bahasa (Coulthard, 1977:1979). Tentunya puisi juga demikian.
Terkemasnya puisi dalam bahasa sangat memungkinkan adanya analisis terhadap struktur dan fitur gaya bahasanya, fungsi penangkapan bahasa, struktur semantik serta konteksnya dalam kerangka linguistik. Itu merupakan suatu kerangka pendekatan analisis wacana.
Analisis wacana adalah "the analysis of language in use" (Brown dan Yule, 1983:1). Strategi analisis tersebut memang berdasar pada berfungsinya ungkapan bahasa dalam "real time processes" (Gumperz, 1982:1). Ungkapan tersebut benar-benar diterapkan dalam proses interaksi komunikatif. Itulah proses pengungkapan makna serta perilaku dalam konteks yang sesungguhnya, serta itulah parole. Demikian pula ungkapan bahasa puisi. Ungkapan puisi dalam berbagai ragam serta gaya itu tentu terus bergulir dalam proses interaksi komunikatif. Ungkapan tersebut dituliskan untuk dibaca, atau dituturkan untuk didengar, lalu dipahami. Pemahamannya pun terus-menerus dikembangkan berdasar atas pemahaman yang lain. Dari wujud ungkapan bahasa yang demikian itulah, analisis wacana puisi beranjak.
Puisi "Baju-baju" karya K.H.A. Mustofa Bisri (1991)--tertera dalam Lampiran--diangkat sebagai bahan kajian dari analisis wacana dalam tulisan ini. Puisi tersebut ditempatkan sebagai teks tertulis, di dalamnya terdapat sebersit penawaran pemahaman makna yang dikehendaki penulis.
1.2. Deskripsi Masalah
Perrin (dalam Henry Guntur Tarigan, 1995:141) membedakan gaya bahasa menjadi tiga, yaitu: (1) perbandingan yang meliputi metafora, kesamaan, dan analogi; (2) hubungan yang meliputi metonimia dan sinekdoke; (3) pernyataan yang meliputi hiperbola, litotes, dan ironi.
Badudu (dalam Riyono Pratikno, 1984: 151) menerangkan bahwa gaya bahasa dibedakan menjadi empat yaitu: (1) gaya bahasa perbandingan; (2) gaya bahasa sindiran; (3) gaya bahasa penegasan; (4) gaya bahasa pertentangan. Sementara itu, Keraf (2004:124-145) membagi gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat yang meliputi: (1) klimaks; (2) antiklimaks; (3) paralelisme; (4) antitesis, dan (5) repetisi (epizeukis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis). Kemudian berdasarkan langsung tidaknya makna, meliputi: (1) gaya bahasa retoris terdiri dari aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis (preterisiso), apostrof, asindenton, polisindenton, kiasmus, elipsis, eufemisme, litotes, hysteron, prosteron, pleonasme dan tautology, perifrasis, prolepsis (antisipasi), erotesis (pertanyaan retoris), silepsis dan zeugma, koreksio (epanortosis), hiperbola, paradoks, dan oksimoron; (2) gaya bahasa kiasan meliputi persamaan atau simile, metafora, alegori, parable, fable, personifikasi (prosopopoeia), alusi, eponym, epitet, sinekdoke, metonimia, antonomasia, hipalase, ironi, sinisme, dan sarkasme, satire, innuendo, antifrasis.
.
.
1.3. Batasan Masalah
Dalam makalah analisis puisi ini sebenarnya banyak sekali macam gaya bahasa yang digunakan dalam penulisan puisi, tetapi penulis lebih terfokus untuk mengambil gaya – gaya bahasa tertentu.
Dalam makalah ini penulis mengangkat pokok bahasan tentang Gaya Bahasa Perulangan, dimana bahasan tersebut hanya mencakup gaya bahasa perulangan dalam sebuah puisi.
1.4. Rumusan Masalah
1. Pengertian puisi
2. Pengertian Gaya Bahasa Perulangan
3. Bagaimana penggunaan gaya bahasa perulangan dalam kumpulan puisi K.H. Mustofa Bisri.
1.5. Tujuan Pembahasan
Tujuan penelitian ini untuk lebih jelas menegaskan bahwa dalam karya kumpulan puisi karya A. Mustofa Bisri ini mempunyai cirri khas dalam pempergunaan gaya bahasa perulangan, dimana acuan referensi yang digunakan adalah Antologi Puisi A. Mustofa Bisri "Tadarus".
1.6. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat teoretis.dan praktis.
1. Manfaat Teoretis
a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi, untuk meningkatkan pembelajaran puisi dengan lebih baik untuk mencapai hasil yang maksimal.
b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan dan pedoman bagi guru, dosen bahasa Indonesia dalam mengajarkan dan meningkatkan kemampuan menulis puisi .
2. Manfaat Praktis
a. Dapat memberikan motivasi bagi para siswa untuk tidak menganaktirikan pelajaran tentang puisi.
b. Dapat menumbuhkan minat bersastra di kalangan remaja.
c. Sebagai jembatan dalam memahami bentuk karya sastra sebagai hasil budaya bangsa.
1.7. Penegasan Istilah Dalam Judul
PENGGUNAAN GAYA BAHASA PERULANGAN DALAM ANTOLOGI PUISI ”TADARUS” KARYA A. MUSTOFA BISRI
- Penggunaan = Proses, carra, Perbuatan menggunakan sesuatu; pemakaian.
- Gaya = Style
- Bahasa = Alat Komunikasi
- Perulangan = mengulang,
- Dalam = Jauh kebawah (dari permukaan)
- Antologi = Kumpulan, himpunan, serikat, sesuatu yang di himpun
- Puisi = Pengekspresian pemikiran yang membangkitkan perasaan yang merangsang imajinasi pancaindra dalam susunan yang berirama (pradopo 1987: 7)
- Tadarus = membaca Al- Quran secara bergiliran dan saling mendekte
- Karya = Hasil perbuatan, buatan, ciptaan, hasil ciptaan yang buka tiruan, saduran, salinan atau terjemahan.
- A = Singkatan dari Ahmad
- Mustofa Bisri = -
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1. Pengertian Puisi
Pengertian puisi sampai saat ini masih diperbincangkan oleh berbagai kalangan. Tidak konsistennya pengertian puisi lebih disebabkan oleh perkembangan puisi yang semakin hari semakin beragam dan mengakibatkan lahirnya jenis-jenis puisi baru. Sehingga, sulit menyimpulkan apa pengertian puisi yang bisa dikenakan pada berbagai jenis puisi pada berbagai zaman.
Berikut ini beberapa definisi atau pengertian puisi yang dikemukakan oleh ahli-ahli sastra.
Berikut ini beberapa definisi atau pengertian puisi yang dikemukakan oleh ahli-ahli sastra.
1.Riffaterre
A poem says one thing and means another (lewat Sarjono, 2001:124)
A poem says one thing and means another (lewat Sarjono, 2001:124)
2.Herbert Spencer
Puisi merupakan bentuk pengucapan gagasan yang bersifat emosional dengan mempertimbangkan efek keindahan (via Waluya 1995:23).
3.Herman J. Waluya
Puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya (1995:25).
4.Sapardi Djoko Damono
Puisi adalah sebentuk cara untuk mengungkapkan sesuatu yang banyak dengan cara yang paling sedikit (via Ebo, 2003:69). Berdasarkan definisi-definisi puisi di atas, dapat ditarik benang merah tentang pengertian puisi, yaitu bentuk karya sastra yang bermuatan banyak dengan wujud bahasa yang dipadatkan.
2.1.1. Unsur – Unsur Puisi
Unsur puisi merupakan segala elemen (bahan) yang dipergunakan penyair dalam membangun atau menciptakan puisinya. Segala bahan, baik unsur luar, (objek seni) maupun unsur dalam (imajinasi, intuitif, emosi, bahasa, dll) disentetikkan menjadi satu kesatuan yang utuh oleh penyair menjadi bentuk puisi berupa teks puisi.
Berikut ini merupakan beberapa pendapat-pendapat lain mengenai unsur-unsur
puisi.
(1) Richards (dalam Tarigan, 1986) mengatakan bahwa unsur puisi terdiri dari (1) hakikat puisi yang melipuiti tema (sense), rasa (feeling), amanat (intention), nada (tone), serta (2) metode puisi yang meliputi diksi, imajeri, kata nyata, majas, ritme, dan rima.
(2) Waluyo (1987) yang mengatakan bahwa dalam puisi terdapat struktur fisik atau yang disebut pula sebagai struktur kebahasaan dan struktur batin puisi yang berupa ungkapan batin pengarang.
(3) Altenberg dan Lewis (dalam Badrun, 1989:6), meskipun tidak menyatakan secara jelas tentang unsur-unsur puisi, namun darioutline buku mereka bisa dilihat adanya (1) sifat puisi, (2) bahasa puisi: diksi, imajeri, bahasa kiasan, sarana retorika, (3) bentuk: nilai bunyi, verifikasi, bentuk, dan makna, (4) isi: narasi, emosi, dan tema.
(4) Dick Hartoko (dalam Waluyo, 1987:27) menyebut adanya unsur penting dalam puisi, yaitu unsur tematik atau unsur semantik puisi dan unsur sintaksis puisi. Unsur tematik puisi lebih menunjuk ke arah struktur batin puisi, unsur sintaksis menunjuk ke arah struktur fisik puisi.
(5) Meyer menyebutkan unsur puisi meliputi (1) diksi, (2) imajeri, (3) bahasa kiasan, (4) simbol, (5) bunyi, (6) ritme, (7) bentuk (Badrun, 1989:6).
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur puisi meliputi (1) tema, (2) nada, (3) rasa, (4) amanat, (5) diksi, (6) imaji, (7) bahasa figuratif, (8) kata konkret, (9) ritme dan rima. Unsur-unsur puisi ini, menurut pendapat Richards dan Waluyo dapat dipilah menjadi dua struktur, yaitu struktur batin puisi (tema, nada, rasa, dan amanat) dan struktur fisik puisi (diksi, imajeri, bahasa figuratif, kata konkret, ritme, dan rima).
Secara sederhana, batang tubuh puisi terbentuk dari beberapa unsur, yaitu kata, larik , bait, bunyi, dan makna. Kelima unsur ini saling mempengaruhi keutuhan sebuah puisi. Secara singkat bisa diuraikan sebagai berikut. Kata adalah unsur utama terbentuknya sebuah puisi. Pemilihan kata (diksi) yang tepat sangat menentukan kesatuan dan keutuhan unsur-unsur yang lain. Kata-kata yang dipilih diformulasi menjadi sebuah larik. Larik (atau baris) mempunyai pengertian berbeda dengan kalimat dalam prosa. Larik
bisa berupa satu kata saja, bisa frase, bisa pula seperti sebuah kalimat. Pada puisi lama, jumlah kata dalam sebuah larik biasanya empat buat, tapi pada puisi baru tak ada batasan. Bait merupakan kumpulan larik yang tersusun harmonis. Pada bait inilah biasanya ada kesatuan makna. Pada puisi lama, jumlah larik dalam sebuah bait biasanya empat buah, tetapi pada puisi baru tidak dibatasi. Bunyi dibentuk oleh rima dan irama. Rima (persajakan) adalah bunyi-bunyi yang ditimbulkan oleh huruf atau kata-kata dalam larik dan bait. Sedangkan irama (ritme) adalah pergantian tinggi rendah, panjang pendek, dan keras lembut ucapan bunyi. Timbulnya irama disebabkan oleh perulangan bunyi secara berturut-turut dan bervariasi (misalnya karena adanya rima, perulangan kata, perulangan bait), tekanan- tekanan kata yang bergantian keras lemahnya (karena sifat-sifat konsonan dan vokal), atau panjang pendek kata. Dari sini dapat dipahami bahwa rima adalah salah satu unsur pembentuk irama, namun irama tidak hanya dibentuk oleh rima. Baik rima maupun irama inilah yang menciptakan efek musikalisasi pada puisi, yang membuat puisi menjadi indah dan enak didengar meskipun tanpa dilagukan. Makna adalah unsur tujuan dari pemilihan kata, pembentukan larik dan bait. Makna bisa menjadi isi dan pesan dari puisi tersebut. Melalui makna inilah misi penulis puisi disampaikan
bisa berupa satu kata saja, bisa frase, bisa pula seperti sebuah kalimat. Pada puisi lama, jumlah kata dalam sebuah larik biasanya empat buat, tapi pada puisi baru tak ada batasan. Bait merupakan kumpulan larik yang tersusun harmonis. Pada bait inilah biasanya ada kesatuan makna. Pada puisi lama, jumlah larik dalam sebuah bait biasanya empat buah, tetapi pada puisi baru tidak dibatasi. Bunyi dibentuk oleh rima dan irama. Rima (persajakan) adalah bunyi-bunyi yang ditimbulkan oleh huruf atau kata-kata dalam larik dan bait. Sedangkan irama (ritme) adalah pergantian tinggi rendah, panjang pendek, dan keras lembut ucapan bunyi. Timbulnya irama disebabkan oleh perulangan bunyi secara berturut-turut dan bervariasi (misalnya karena adanya rima, perulangan kata, perulangan bait), tekanan- tekanan kata yang bergantian keras lemahnya (karena sifat-sifat konsonan dan vokal), atau panjang pendek kata. Dari sini dapat dipahami bahwa rima adalah salah satu unsur pembentuk irama, namun irama tidak hanya dibentuk oleh rima. Baik rima maupun irama inilah yang menciptakan efek musikalisasi pada puisi, yang membuat puisi menjadi indah dan enak didengar meskipun tanpa dilagukan. Makna adalah unsur tujuan dari pemilihan kata, pembentukan larik dan bait. Makna bisa menjadi isi dan pesan dari puisi tersebut. Melalui makna inilah misi penulis puisi disampaikan
2.1.2. Struktur Fisik Puisi
Adapun struktur fisik puisi dijelaskan sebagai berikut.
(1) Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.
(2) Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata. Geoffrey (dalam Waluyo, 19987:68-69) menjelaskan bahwa bahasa puisi mengalami 9 (sembilan) aspek penyimpangan, yaitu penyimpangan leksikal, penyimpangan semantis, penyimpangan fonologis, penyimpangan sintaksis, penggunaan dialek, penggunaan register (ragam bahasa tertentu oleh kelompok/profesi tertentu), penyimpangan historis (penggunaan kata-kata kuno), dan penyimpangan grafologis (penggunaan kapital hingga titik)
(3) Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, medengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.
(4) Kata kongkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misal kata kongkret “salju: melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll., sedangkan kata kongkret “rawa-rawa” dapat melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan, dll.
(5) Bahasa figuratif, yaitu bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu (Soedjito, 1986:128). Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna (Waluyo, 1987:83). Bahasa figuratif disebut juga majas. Adapaun macam-amcam majas antara lain metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.
(6) Versifikasi, yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup (1) onomatope (tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang memberikan efek magis pada puisi Sutadji C.B.), (2) bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata], dan sebagainya [Waluyo, 187:92]), dan (3) pengulangan kata/ungkapan. Ritma merupakan tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Ritma sangat menonjol dalam pembacaan puisi.
2.1.3. Struktur Batin Puisi
Adapun struktur batin puisi akan dijelaskan sebagai berikut.
(1) Tema/makna (sense); media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan.
(2) Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, dan pengetahuan. Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada kemampuan penyairmemilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak bergantung pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya.
(3) Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll.
(4) Amanat/tujuan/maksud (itention); sadar maupun tidak, ada tujuan yang mendorong penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum penyair menciptakan puisi, maupun dapat ditemui dalam puisinya.
2.1.4. Macam – Macam Puisi
a. Puisi Lama
Puisi adalah bentuk karangan yang terkikat oleh rima, ritma, ataupun jumlah baris serta ditandai oleh bahasa yang padat. Menurut zamannya, puisi dibedakan atas puisi lama dan puisi baru.
Puisi lama adalah puisi yang terikat oleh aturan-aturan. Aturan- aturan itu antara lain :
- - Jumlah kata dalam 1 baris
- - Jumlah baris dalam 1 bait
- - Persajakan (rima)
- - Banyak suku kata tiap baris
- - Irama
1. Ciri-ciri Puisi Lama
Ciri puisi lama:
a) Merupakan puisi rakyat yang tak dikenal nama pengarangnya.
b) Disampaikan lewat mulut ke mulut, jadi merupakan sastra lisan.
c) Sangat terikat oleh aturan-aturan seperti jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata maupun rima.
2. Jenis Puisi Lama
Yang termasuk puisi lama adalah :
- Mantra adalah ucapan-ucapan yang dianggap memiliki kekuatan gaib.
- Pantun adalah puisi yang bercirikan bersajak a-b-a-b, tiap bait 4 baris, tiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, 2 baris awal sebagai sampiran, 2 baris berikutnya sebagai isi. Pembagian pantun menurut isinya terdiri dari pantun anak, muda-mudi, agama/nasihat, teka-teki, jenaka.
- Karmina adalah pantun kilat seperti pantun tetapi pendek.
- Seloka adalah pantun berkait.
- Gurindam adalah puisi yang berdirikan tiap bait 2 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat.
- Syair adalah puisi yang bersumber dari Arab dengan ciri tiap bait 4 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat atau cerita.
- Talibun adalah pantun genap yang tiap bait terdiri dari 6, 8, ataupun 10 baris.
b. Puisi Baru
Puisi baru bentuknya lebih bebas daripada puisi lama baik dalam segi jumlah baris, suku kata, maupun rima.
1. Ciri-ciri Puisi Baru
a) Bentuknya rapi, simetris;
b) Mempunyai persajakan akhir (yang teratur);
c) Banyak mempergunakan pola sajak pantun dan syair meskipun ada pola yang lain;
d) Sebagian besar puisi empat seuntai;
e) Tiap-tiap barisnya atas sebuah gatra (kesatuan sintaksis)
f) Tiap gatranya terdiri atas dua kata (sebagian besar) : 4-5 suku kata.
2. Jenis-jenis Puisi Baru
Menurut isinya, puisi dibedakan atas :
a) Balada adalah puisi berisi kisah/cerita
b) Himne adalah puisi pujaan untuk Tuhan, tanah air, atau pahlawan
c) Ode adalah puisi sanjungan untuk orang yang berjasa
d) Epigram adalah puisi yang berisi tuntunan/ajaran hidup
e) Romance adalah puisi yang berisi luapan perasaan cinta kasih
f) Elegi adalah puisi yang berisi ratap tangis/kesedihan
g) Satire adalah puisi yang berisi sindiran/kritik
Sedangkan macam-macam puisi baru dilihat dari bentuknya antara lain:
a) Distikon
b) Terzina
c) Quatrain
d) Quint
e) Sektet
f) Septime
g) Oktaf/Stanza
h) Soneta
1. Ciri-ciri Puisi Baru
a) Bentuknya rapi, simetris;
b) Mempunyai persajakan akhir (yang teratur);
c) Banyak mempergunakan pola sajak pantun dan syair meskipun ada pola yang lain;
d) Sebagian besar puisi empat seuntai;
e) Tiap-tiap barisnya atas sebuah gatra (kesatuan sintaksis)
f) Tiap gatranya terdiri atas dua kata (sebagian besar) : 4-5 suku kata.
2. Jenis-jenis Puisi Baru
Menurut isinya, puisi dibedakan atas :
a) Balada adalah puisi berisi kisah/cerita
b) Himne adalah puisi pujaan untuk Tuhan, tanah air, atau pahlawan
c) Ode adalah puisi sanjungan untuk orang yang berjasa
d) Epigram adalah puisi yang berisi tuntunan/ajaran hidup
e) Romance adalah puisi yang berisi luapan perasaan cinta kasih
f) Elegi adalah puisi yang berisi ratap tangis/kesedihan
g) Satire adalah puisi yang berisi sindiran/kritik
Sedangkan macam-macam puisi baru dilihat dari bentuknya antara lain:
a) Distikon
b) Terzina
c) Quatrain
d) Quint
e) Sektet
f) Septime
g) Oktaf/Stanza
h) Soneta
2.1.5.Pengertian Gaya Bahasa Perulangan
Ade Nurdin, Yani Muryani, dan Mumu (2002:28) berpendapat bahwa gaya bahasa perulangan adalah gaya bahasa yang mengulang kata demi kata entah itu yang diulang pada bagian depan, tengah, atau akhir, sebuah kalimat. Gaya bahasa perulangan ini meliputi: aliterasi, antanaklasis, anafora, anadiplosis, mesodiplosis, epanaplipsis, dan epuzeukis.
a) Alitersi
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:28) berpendapat bahwa aliterasi adalah gaya bahasa yang memanfaatkan kata-kata yang permulaannya sama bunyinya. Jadi aliterasi adalah gaya bahasa yang mengulang kata pertama yang diulang lagi pada kata berikutnya.
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:28) berpendapat bahwa aliterasi adalah gaya bahasa yang memanfaatkan kata-kata yang permulaannya sama bunyinya. Jadi aliterasi adalah gaya bahasa yang mengulang kata pertama yang diulang lagi pada kata berikutnya.
b) Antanaklasis
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:28) berpendapat bahwa antanaklasis adalah gaya bahasa yang mengandung ulangan kata yang sama dengan makna yang berbeda. Jadi yang dimaksud dengan antanaklasis adalah sebuah perulangan kata yang sama dengan maksud yang berbeda.
Contoh : Bunga sangat cantik dengan blus bermotif bunga yang dikenakannya.
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:28) berpendapat bahwa antanaklasis adalah gaya bahasa yang mengandung ulangan kata yang sama dengan makna yang berbeda. Jadi yang dimaksud dengan antanaklasis adalah sebuah perulangan kata yang sama dengan maksud yang berbeda.
Contoh : Bunga sangat cantik dengan blus bermotif bunga yang dikenakannya.
c) Anafora
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:28) berpendapat bahwa anafora adalah gaya bahasa yang berwujud perulangan kata pertama dalam kalimat berikutnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa anafora adalah perulangan kata pertama yang sama pada kalimat berikutnya.
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:28) berpendapat bahwa anafora adalah gaya bahasa yang berwujud perulangan kata pertama dalam kalimat berikutnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa anafora adalah perulangan kata pertama yang sama pada kalimat berikutnya.
d) Anadiplosis
Gorys Keraf (2004:128) berpendapat bahwa anadiplosis adalah kata atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama dari klausa atau kalimat berikutnya. Sementara itu, Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:28) anadiplosis adalah gaya bahasa yang selalu mengulang kata terakhir atau frasa terakhir dalam suatu kalimat atau frasa pertama dari klausa dalam kalimat berikutnya. Dari dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa anadiplosis adalah gaya bahasa yang mengulang kata pertama dari suatu kalimat menjadi kata terakhir.
Gorys Keraf (2004:128) berpendapat bahwa anadiplosis adalah kata atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama dari klausa atau kalimat berikutnya. Sementara itu, Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:28) anadiplosis adalah gaya bahasa yang selalu mengulang kata terakhir atau frasa terakhir dalam suatu kalimat atau frasa pertama dari klausa dalam kalimat berikutnya. Dari dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa anadiplosis adalah gaya bahasa yang mengulang kata pertama dari suatu kalimat menjadi kata terakhir.
e) Mesodiplosis
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:29) berpendapat bahwa mesodiplosis adalah gaya bahasa repetisi yang menggunakan pengulangan di tengah-tengah baris atau kalimat secara berurutan. Sementara itu menurut Gorys Keraf (2004:128) mesodiplosis adalah repetisi di tengah-tengah baris atau beberapa kalimat berurutan. Dari dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa mesodiplosis adalah gaya bahasa repetisi yang mengulang kata di tengah-tengah baris atau kalimat.
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:29) berpendapat bahwa mesodiplosis adalah gaya bahasa repetisi yang menggunakan pengulangan di tengah-tengah baris atau kalimat secara berurutan. Sementara itu menurut Gorys Keraf (2004:128) mesodiplosis adalah repetisi di tengah-tengah baris atau beberapa kalimat berurutan. Dari dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa mesodiplosis adalah gaya bahasa repetisi yang mengulang kata di tengah-tengah baris atau kalimat.
f) Epanalipsis
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:30) berpendapat bahwa epanalipsis adalah gaya bahasa repetisi kata terakhir pada akhir kalimat atau klausa. Kemudian menurut pendapat Gorys Keraf (2004:128) yang dimaksud dengan epanalipsis adalah pengulangan yang berwujud kata terakhir dari baris, klausa, atau kalimat, mengulang kata pertama. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa epanalipsis adalah pemngulangan kata pertama untuk ditempatkan pada akhir baris dari suatu kalimat.
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:30) berpendapat bahwa epanalipsis adalah gaya bahasa repetisi kata terakhir pada akhir kalimat atau klausa. Kemudian menurut pendapat Gorys Keraf (2004:128) yang dimaksud dengan epanalipsis adalah pengulangan yang berwujud kata terakhir dari baris, klausa, atau kalimat, mengulang kata pertama. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa epanalipsis adalah pemngulangan kata pertama untuk ditempatkan pada akhir baris dari suatu kalimat.
g) Epizeukis
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:30) berpendapat bahwa epizeukis adalah gaya bahasa repetisi yang bersifat langsung dari kata-kata yang dipentingkan dan diulang beberapa kali sebagai penegasan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Gorys Keraf (2004:127) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan epizeukis adalah repetisi yang bersifat langsung artinya kata-kata yang dipentingkan diulang berturut-turut. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa epizeukis adalah pengulangan kata yang bersifat langsung secara berturut-turut untuk menegaskan maksud.
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:30) berpendapat bahwa epizeukis adalah gaya bahasa repetisi yang bersifat langsung dari kata-kata yang dipentingkan dan diulang beberapa kali sebagai penegasan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Gorys Keraf (2004:127) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan epizeukis adalah repetisi yang bersifat langsung artinya kata-kata yang dipentingkan diulang berturut-turut. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa epizeukis adalah pengulangan kata yang bersifat langsung secara berturut-turut untuk menegaskan maksud.
BAB III
ANALISIS
3.1. Sujud
Bagaimana kau hendak bersujud pasrah
sedang wajahmu yang bersih sumringah
keningmu yang mulia
dan indah begitu pongah
minta sajadah
agar tak menyentuh tanah.
Apakah kau melihatnya
seperti iblis saat menolak menyembah bapakmu
dengan congkak,
tanah hanya patut diinjak,
tempat kencing dan berak
membuang ludah dan dahak
atau paling jauh hanya jadi lahan
pemanjaan nafsu
serakah dan tamak.
Apakah kau lupa
bahwa tanah adalah bapak
dari mana ibumu dilahirkan,
tanah adalah ibu yang menyusuimu
dan memberi makan
tanah adalah kawan yang memelukmu
dalam kesendirian
dalam perjalanan panjang
menuju keabadian.
Singkirkan saja
sajadah mahalmu
ratakan keningmu,
ratakan heningmu,
tanahkan wajahmu,
pasrahkan jiwamu,
biarlah rahmat agung
Allah membelai
dan terbanglah kekasih
sedang wajahmu yang bersih sumringah
keningmu yang mulia
dan indah begitu pongah
minta sajadah
agar tak menyentuh tanah.
Apakah kau melihatnya
seperti iblis saat menolak menyembah bapakmu
dengan congkak,
tanah hanya patut diinjak,
tempat kencing dan berak
membuang ludah dan dahak
atau paling jauh hanya jadi lahan
pemanjaan nafsu
serakah dan tamak.
Apakah kau lupa
bahwa tanah adalah bapak
dari mana ibumu dilahirkan,
tanah adalah ibu yang menyusuimu
dan memberi makan
tanah adalah kawan yang memelukmu
dalam kesendirian
dalam perjalanan panjang
menuju keabadian.
Singkirkan saja
sajadah mahalmu
ratakan keningmu,
ratakan heningmu,
tanahkan wajahmu,
pasrahkan jiwamu,
biarlah rahmat agung
Allah membelai
dan terbanglah kekasih
Keterangan :
Dalam puisi “SUJUD” Penggunaan Gaya Bahasa Perulangan terdapay pada sajak :
tanah adalah ibu yang menyusuimu
tanah adalah kawan yang memelukmu
dalam kesendirian
dalam perjalanan panjang
dalam kesendirian
dalam perjalanan panjang
ratakan keningmu
ratakan heningmu,
3.2. Bagimu
Bagimu kutancapkan kening kebanggaanku pada
rendah tanah,
telah kuamankan sedapat mungkin
maniku,
kuselamat-selamatkan Islamku
kini dengan
segala milikMu ini
kuserahkan kepadaMu Allah
terimalah.
Kepala bergengsi yang terhormat ini
dengan kedua
mata yang mampu menangkap
gerak-gerik dunia,
kedua telinga
yang dapat menyadap kersik-kersik
berita,
hidung yang bisa mencium wangi parfum
hingga borok manusia,
mulut yang sanggup menyulap
kebohongan jadi kebenaran
seperti yang lain hanyalah
sepersekian percik tetes anugrahMu.
Alangkah amat
mudahnya Engkau
melumatnya Allah,
sekali Engkau
lumat terbanglah cerdikku,
terbanglah gengsiku
terbanglah kehormatanku,
terbanglah kegagahanku,
terbanglah kebanggaanku,
terbanglah mimpiku,
terbanglah hidupku.
Allah,
jika terbang-terbanglah,
sekarangpun aku pasrah,
asal menuju haribaan rahmatMu.
Keterangan :
rendah tanah,
telah kuamankan sedapat mungkin
maniku,
kuselamat-selamatkan Islamku
kini dengan
segala milikMu ini
kuserahkan kepadaMu Allah
terimalah.
Kepala bergengsi yang terhormat ini
dengan kedua
mata yang mampu menangkap
gerak-gerik dunia,
kedua telinga
yang dapat menyadap kersik-kersik
berita,
hidung yang bisa mencium wangi parfum
hingga borok manusia,
mulut yang sanggup menyulap
kebohongan jadi kebenaran
seperti yang lain hanyalah
sepersekian percik tetes anugrahMu.
Alangkah amat
mudahnya Engkau
melumatnya Allah,
sekali Engkau
lumat terbanglah cerdikku,
terbanglah gengsiku
terbanglah kehormatanku,
terbanglah kegagahanku,
terbanglah kebanggaanku,
terbanglah mimpiku,
terbanglah hidupku.
Allah,
jika terbang-terbanglah,
sekarangpun aku pasrah,
asal menuju haribaan rahmatMu.
Keterangan :
Dalam puisi “BAGIMU” Penggunaan Gaya Bahasa Perulangan terdapay pada sajak :
kuselamat-selamatkan Islamku
gerak-gerik dunia,
gerak-gerik dunia,
yang dapat menyadap kersik-kersik
terbanglah gengsiku
terbanglah kehormatanku,
terbanglah kegagahanku,
terbanglah kebanggaanku,
terbanglah mimpiku,
terbanglah hidupku.
terbanglah gengsiku
terbanglah kehormatanku,
terbanglah kegagahanku,
terbanglah kebanggaanku,
terbanglah mimpiku,
terbanglah hidupku.
3.3. Kaum beragama negri ini
Tuhan,
lihatlah betapa baik
kaum beragama
negeri ini
mereka tak mau kalah dengan kaum
beragama lain
di negeri-negeri lain.
Demi mendapatkan ridhomu
mereka rela mengorbankan
saudara-saudara mereka
untuk merebut tempat
terdekat disisiMu
mereka bahkan tega menyodok
dan menikam hamba-hambaMu sendiri
demi memperoleh RahmatmMu
mereka memaafkan kesalahan dan
mendiamkan kemungkaran
bahkan mendukung kelaliman
Untuk membuktikan
keluhuran budi mereka,
terhadap setanpun
mereka tak pernah
berburuk sangka
Tuhan,
lihatlah
betapa baik kaum beragama
negeri ini
mereka terus membuatkanmu
rumah-rumah mewah
di antara gedung-gedung kota
hingga di tengah-tengah sawah
dengan kubah-kubah megah
dan menara-menara menjulang
untuk meneriakkan namaMu
menambah segan
dan keder hamba-hamba
kecilMu yang ingin sowan kepadaMu
NamaMu mereka nyanyikan dalam acara
hiburan hingga pesta agung kenegaraan.
Mereka merasa begitu dekat denganMu
hingga masing-masing
merasa berhak mewakiliMu.
Yang memiliki kelebihan harta
membuktikan
kedekatannya dengan harta
yang Engkau berikan
Yang memiliki kelebihan kekuasaan
membuktikan kedekatannya dengan
kekuasaannya yang Engkau limpahkan.
Yang memiliki kelebihan ilmu
membuktikan
kedekatannya dengan ilmu
yang Engkau karuniakan.
Mereka yang engkau anugerahi
kekuatan sering kali bahkan merasa
diri Engkau sendiri
Mereka bukan saja ikut
menentukan ibadah
tetapi juga menetapkan
siapa ke sorga siapa ke neraka.
Mereka sakralkan pendapat mereka
dan mereka akbarkan
semua yang mereka lakukan
hingga takbir
dan ikrar mereka yang kosong
bagai perut bedug.
Allah hu akbar walilla ilham.
lihatlah betapa baik
kaum beragama
negeri ini
mereka tak mau kalah dengan kaum
beragama lain
di negeri-negeri lain.
Demi mendapatkan ridhomu
mereka rela mengorbankan
saudara-saudara mereka
untuk merebut tempat
terdekat disisiMu
mereka bahkan tega menyodok
dan menikam hamba-hambaMu sendiri
demi memperoleh RahmatmMu
mereka memaafkan kesalahan dan
mendiamkan kemungkaran
bahkan mendukung kelaliman
Untuk membuktikan
keluhuran budi mereka,
terhadap setanpun
mereka tak pernah
berburuk sangka
Tuhan,
lihatlah
betapa baik kaum beragama
negeri ini
mereka terus membuatkanmu
rumah-rumah mewah
di antara gedung-gedung kota
hingga di tengah-tengah sawah
dengan kubah-kubah megah
dan menara-menara menjulang
untuk meneriakkan namaMu
menambah segan
dan keder hamba-hamba
kecilMu yang ingin sowan kepadaMu
NamaMu mereka nyanyikan dalam acara
hiburan hingga pesta agung kenegaraan.
Mereka merasa begitu dekat denganMu
hingga masing-masing
merasa berhak mewakiliMu.
Yang memiliki kelebihan harta
membuktikan
kedekatannya dengan harta
yang Engkau berikan
Yang memiliki kelebihan kekuasaan
membuktikan kedekatannya dengan
kekuasaannya yang Engkau limpahkan.
Yang memiliki kelebihan ilmu
membuktikan
kedekatannya dengan ilmu
yang Engkau karuniakan.
Mereka yang engkau anugerahi
kekuatan sering kali bahkan merasa
diri Engkau sendiri
Mereka bukan saja ikut
menentukan ibadah
tetapi juga menetapkan
siapa ke sorga siapa ke neraka.
Mereka sakralkan pendapat mereka
dan mereka akbarkan
semua yang mereka lakukan
hingga takbir
dan ikrar mereka yang kosong
bagai perut bedug.
Allah hu akbar walilla ilham.
Keterangan :
Dalam puisi “BAGIMU” Penggunaan Gaya Bahasa Perulangan terdapay pada sajak :
saudara-saudara mereka
dan menikam hamba-hambaMu sendiri
rumah-rumah mewah
di antara gedung-gedung kota
hingga di tengah-tengah sawah
dengan kubah-kubah megah
dan menara-menara menjulang
rumah-rumah mewah
di antara gedung-gedung kota
hingga di tengah-tengah sawah
dengan kubah-kubah megah
dan menara-menara menjulang
dan keder hamba-hamba
hingga masing-masing
3.4. Di arafah
Terlentang aku
seenaknya dalam pelukan bukit-bukit
batu bertenda langit biru,
seorang anak entah
berkebangsaan apa
mengikuti anak mataku
dan dalam
isyarat bertanya-tanya
kapan Tuhan turun?
Aku tersenyum.
Setan mengira dapat mengendarai
matahari,
mengusik khusukku apa tak melihat
ratusan ribu hati putih
menggetarkan bibir,
melepas dzikir,
menjagamu
dari jutaan milyar malaikat
menyiramkan berkat.
Kulihat diriku
terapung-apung
dalam nikmat dan sianak
entah berkebangsaan apa
seperti melihat arak-arakan
karnaval menari-nari
dengan riangnya.
Terlentang aku
satu diantara jutaan tumpukan
dosa yang mencoba menindih,
akankah
kiranya bertahan dari banjir
air mata penyesalan
massal ini
Gunung-gunung batu
menirukan tasbih kami,
pasir menghitung wirid kami
dan sianak
yang aku tak tahu
berkebangsaan apa
tertidur dipangkuanku
pulas sekali
seenaknya dalam pelukan bukit-bukit
batu bertenda langit biru,
seorang anak entah
berkebangsaan apa
mengikuti anak mataku
dan dalam
isyarat bertanya-tanya
kapan Tuhan turun?
Aku tersenyum.
Setan mengira dapat mengendarai
matahari,
mengusik khusukku apa tak melihat
ratusan ribu hati putih
menggetarkan bibir,
melepas dzikir,
menjagamu
dari jutaan milyar malaikat
menyiramkan berkat.
Kulihat diriku
terapung-apung
dalam nikmat dan sianak
entah berkebangsaan apa
seperti melihat arak-arakan
karnaval menari-nari
dengan riangnya.
Terlentang aku
satu diantara jutaan tumpukan
dosa yang mencoba menindih,
akankah
kiranya bertahan dari banjir
air mata penyesalan
massal ini
Gunung-gunung batu
menirukan tasbih kami,
pasir menghitung wirid kami
dan sianak
yang aku tak tahu
berkebangsaan apa
tertidur dipangkuanku
pulas sekali
Keterangan :
Dalam puisi “DI ARAFAH” Penggunaan Gaya Bahasa Perulangan terdapay pada sajak :
seenaknya dalam pelukan bukit-bukit
isyarat bertanya-tanya
terapung-apung
isyarat bertanya-tanya
terapung-apung
seperti melihat arak-arakan
karnaval menari-nari
Gunung-gunung batu
karnaval menari-nari
Gunung-gunung batu
3.5. Di pelataran agungmu nan lapang
Di pelataran agungMu
nan lapang kawanan burung merpati
sesekali sempat memunguti butir-butir
bebijian yang Engkau tebarkan
lalu terbang lagi
menggores-gores biru langit
melukis puja-puji
yang hening
Di pelataran agungMu
nan lapang aku setitik noda
setahi burung merpati menempel pada pekat
gumpalan yang menyeret warna bias kelabu
berputaran mengatur
melaju luluh dalam gemuruh
talbiah, takbir dan tahmit
Dikejar dosa-dosa
dalam kerumuman dosa
ada sebaris doa
siap kuucapkan
lepas terhanyut air mata
tersangkut di kiswah nan hitam
Di pelataran agungMu
nan lapang
aku titik-titik tahi merpati
menggumpal dalam titik noda berputaran,
mengabur, melaju, luluh
dalam gemuruh talbiah,
takbir dan tahmit
mengejar ampunan dalam lautan
ampunan
terpelanting dalam qouf dan roja.
nan lapang kawanan burung merpati
sesekali sempat memunguti butir-butir
bebijian yang Engkau tebarkan
lalu terbang lagi
menggores-gores biru langit
melukis puja-puji
yang hening
Di pelataran agungMu
nan lapang aku setitik noda
setahi burung merpati menempel pada pekat
gumpalan yang menyeret warna bias kelabu
berputaran mengatur
melaju luluh dalam gemuruh
talbiah, takbir dan tahmit
Dikejar dosa-dosa
dalam kerumuman dosa
ada sebaris doa
siap kuucapkan
lepas terhanyut air mata
tersangkut di kiswah nan hitam
Di pelataran agungMu
nan lapang
aku titik-titik tahi merpati
menggumpal dalam titik noda berputaran,
mengabur, melaju, luluh
dalam gemuruh talbiah,
takbir dan tahmit
mengejar ampunan dalam lautan
ampunan
terpelanting dalam qouf dan roja.
Keterangan :
Dalam puisi “DI PELATARAN AGUNGMU NAN LAPANG” Penggunaan Gaya Bahasa Perulangan terdapay pada sajak:
sesekali sempat memunguti butir-butir
menggores-gores biru langit
melukis puja-puji
melukis puja-puji
Dikejar dosa-dosa
aku titik-titik tahi merpati
3.6. Tadarus
Bismillahirrahmanirrahim
Brenti mengalir darahku menyimak firman-Mu
Idzaa zulzilatil-ardlu zilzaalahaa
Wa akhrajatil-ardlu atsqaalahaa
Waqaalal-insaanu maa lahaa
(ketika bumi diguncang dengan dasyatnya
Dan bumi memuntahkan isi perutnya
Dan manusia bertanya-tanya:
Bumi itu kenapa?)
Yaumaidzin tuhadditsu akhbaarahaa
Bianna Rabbaka auhaa lahaa
Yaumaidzin yashdurun-naasu asytaatan
Liyurau a'maalahum
(Ketika itu bumi mengisahkan kisah-kisahnya
Karena Tuhanmu mengilhaminya
Ketika itu manusia tumpah terpisah-pisah
'Tuk diperlihatkan perbuatan-perbuatan mereka)
Faman ya'mal mitsqaala dzarratin khairan yarah
Waman ya'mal mitsqaala dzarratin syarran yarah
(Maka siapa yang berbuat sezarrah kebaikan
pun akan melihatnya
Dan siapa yang berbuat sezarrah kejahatan
pun akan melihatnya)
Ya Tuhan, akukah insan yang bertanya-tanya
Ataukah aku mukmin yang sudah tahu jawabnya?
Kulihat tetes diriku dalam muntahan isi bumi
Aduhai, akan kemanakah kiranya bergulir?
Diantara tumpukan maksiat yang kutimbun saat demi saat
Akankah kulihat sezarrah saja
Kebaikan yang pernah kubuat?
Nafasku memburu diburu firmanMu
Dengan asma Allah Yang Pengasih Penyayang
Wa'aadiyaati dlabhan
Falmuuriyaati qadhan
Fa-atsarna bihi naq'an
Fawasathna bihi jam'an
(Demi yang sama terpacu berdengkusan
Yang sama mencetuskan api berdenyaran
Yang pagi-pagi melancarkan serbuan
Menerbangkan debu berhamburan
Dan menembusnya ke tengah-tengah pasukan lawan)
Innal-insana liRabbihi lakanuud
Wainnahu 'alaa dzaalika lasyahied
Wainnahu lihubbil-khairi lasyadied
(Sungguh manusia itu kepada Tuhannya
Sangat tidak tahu berterima kasih
Sunggung manusia itu sendiri tentang itu menjadi saksi
Dan sungguh manusia itu sayangnya kepada harta
Luar biasa)
Afalaa ya'lamu idza bu'tsira maa fil-qubur
Wahushshila maa fis-shuduur
Inna Rabbahum bihim yaumaidzin lakhabier
(Tidakkah manusia itu tahu saat isi kubur dihamburkan
Saat ini dada ditumpahkan?
Sungguh Tuhan mereka
Terhadap mereka saat itu tahu belaka!)
Ya Tuhan, kemana gerangan butir debu ini 'kan menghambur?
Adakah secercah syukur menempel
Ketika isi dada dimuntahkan
Ketika semua kesayangan dan andalan entah kemana?
Meremang bulu romaku diguncang firmanMu
Bismillahirrahmaanirrahim
Al-Quaari'atu
Mal-qaari'ah
Wamaa adraaka mal-qaari'ah
(Penggetar hati
Apakah penggetar hati itu?
Tahu kau apa itu penggetar hati?)
Resah sukmaku dirasuk firmanMu
Yauma yakuunun-naasu kal-faraasyil-mabtsuts
Watakuunul-jibaalu kal'ihnil-manfusy
(Itulah hari manusia bagaikan belalang bertebaran
dan gunung-gunung bagaikan bulu dihambur-terbangkan)
Menggigil ruas-ruas tulangku dalam firmanMu
Waammaa man tsaqulat mawaazienuhu
Fahuwa fii 'iesyatir-raadliyah
Waammaa man khaffat mawaazienuhu faummuhu haawiyah
Wamaa adraaka maa hiyah
Naarun haamiyah
(Nah barangsiapa berbobot timbangan amalnya
Ia akan berada dalam kehidupan memuaskan
Dan barangsiapa enteng timbangan amalnya
Tempat tinggalnya di Hawiyah
Tahu kau apa itu?
Api yang sangat panas membakar!)
Ya Tuhan kemanakah gerangan belalang malang ini 'kan terkapar?
Gunung amal yang dibanggakan
Jadikah selembar bulu saja memberati timbangan
Atau gunung-gunung dosa akan melumatnya
Bagi persembahan lidah Hawiyah?
Ataukah, o, kalau saja maharahmatMu
Akan menerbangkannya ke lautan ampunan
Shadaqallahul' Adhiem
Telah selesai ayat-ayat dibaca
Telah sirna gema-gema sari tilawahnya
Marilah kita ikuti acara selanjutnya
Masih banyak urusan dunia yang belum selesai
Masih banyak kepentingan yang belum tercapai
Masih banyak keinginan yang belum tergapai
Marilah kembali berlupa
Insya Allah Kiamat masih lama. Amien.
(dari Antologi Puisi A. Mustofa Bisri "Tadarus", Prima Pustaka Yogyakarta,
1993)
Brenti mengalir darahku menyimak firman-Mu
Idzaa zulzilatil-ardlu zilzaalahaa
Wa akhrajatil-ardlu atsqaalahaa
Waqaalal-insaanu maa lahaa
(ketika bumi diguncang dengan dasyatnya
Dan bumi memuntahkan isi perutnya
Dan manusia bertanya-tanya:
Bumi itu kenapa?)
Yaumaidzin tuhadditsu akhbaarahaa
Bianna Rabbaka auhaa lahaa
Yaumaidzin yashdurun-naasu asytaatan
Liyurau a'maalahum
(Ketika itu bumi mengisahkan kisah-kisahnya
Karena Tuhanmu mengilhaminya
Ketika itu manusia tumpah terpisah-pisah
'Tuk diperlihatkan perbuatan-perbuatan mereka)
Faman ya'mal mitsqaala dzarratin khairan yarah
Waman ya'mal mitsqaala dzarratin syarran yarah
(Maka siapa yang berbuat sezarrah kebaikan
pun akan melihatnya
Dan siapa yang berbuat sezarrah kejahatan
pun akan melihatnya)
Ya Tuhan, akukah insan yang bertanya-tanya
Ataukah aku mukmin yang sudah tahu jawabnya?
Kulihat tetes diriku dalam muntahan isi bumi
Aduhai, akan kemanakah kiranya bergulir?
Diantara tumpukan maksiat yang kutimbun saat demi saat
Akankah kulihat sezarrah saja
Kebaikan yang pernah kubuat?
Nafasku memburu diburu firmanMu
Dengan asma Allah Yang Pengasih Penyayang
Wa'aadiyaati dlabhan
Falmuuriyaati qadhan
Fa-atsarna bihi naq'an
Fawasathna bihi jam'an
(Demi yang sama terpacu berdengkusan
Yang sama mencetuskan api berdenyaran
Yang pagi-pagi melancarkan serbuan
Menerbangkan debu berhamburan
Dan menembusnya ke tengah-tengah pasukan lawan)
Innal-insana liRabbihi lakanuud
Wainnahu 'alaa dzaalika lasyahied
Wainnahu lihubbil-khairi lasyadied
(Sungguh manusia itu kepada Tuhannya
Sangat tidak tahu berterima kasih
Sunggung manusia itu sendiri tentang itu menjadi saksi
Dan sungguh manusia itu sayangnya kepada harta
Luar biasa)
Afalaa ya'lamu idza bu'tsira maa fil-qubur
Wahushshila maa fis-shuduur
Inna Rabbahum bihim yaumaidzin lakhabier
(Tidakkah manusia itu tahu saat isi kubur dihamburkan
Saat ini dada ditumpahkan?
Sungguh Tuhan mereka
Terhadap mereka saat itu tahu belaka!)
Ya Tuhan, kemana gerangan butir debu ini 'kan menghambur?
Adakah secercah syukur menempel
Ketika isi dada dimuntahkan
Ketika semua kesayangan dan andalan entah kemana?
Meremang bulu romaku diguncang firmanMu
Bismillahirrahmaanirrahim
Al-Quaari'atu
Mal-qaari'ah
Wamaa adraaka mal-qaari'ah
(Penggetar hati
Apakah penggetar hati itu?
Tahu kau apa itu penggetar hati?)
Resah sukmaku dirasuk firmanMu
Yauma yakuunun-naasu kal-faraasyil-mabtsuts
Watakuunul-jibaalu kal'ihnil-manfusy
(Itulah hari manusia bagaikan belalang bertebaran
dan gunung-gunung bagaikan bulu dihambur-terbangkan)
Menggigil ruas-ruas tulangku dalam firmanMu
Waammaa man tsaqulat mawaazienuhu
Fahuwa fii 'iesyatir-raadliyah
Waammaa man khaffat mawaazienuhu faummuhu haawiyah
Wamaa adraaka maa hiyah
Naarun haamiyah
(Nah barangsiapa berbobot timbangan amalnya
Ia akan berada dalam kehidupan memuaskan
Dan barangsiapa enteng timbangan amalnya
Tempat tinggalnya di Hawiyah
Tahu kau apa itu?
Api yang sangat panas membakar!)
Ya Tuhan kemanakah gerangan belalang malang ini 'kan terkapar?
Gunung amal yang dibanggakan
Jadikah selembar bulu saja memberati timbangan
Atau gunung-gunung dosa akan melumatnya
Bagi persembahan lidah Hawiyah?
Ataukah, o, kalau saja maharahmatMu
Akan menerbangkannya ke lautan ampunan
Shadaqallahul' Adhiem
Telah selesai ayat-ayat dibaca
Telah sirna gema-gema sari tilawahnya
Marilah kita ikuti acara selanjutnya
Masih banyak urusan dunia yang belum selesai
Masih banyak kepentingan yang belum tercapai
Masih banyak keinginan yang belum tergapai
Marilah kembali berlupa
Insya Allah Kiamat masih lama. Amien.
(dari Antologi Puisi A. Mustofa Bisri "Tadarus", Prima Pustaka Yogyakarta,
1993)
Keterangan :
Dalam puisi “TADARUS” Penggunaan Gaya Bahasa Perulangan terdapay pada sajak:
Dan manusia bertanya-tanya:
Yaumaidzin tuhadditsu akhbaarahaa
Yaumaidzin yashdurun-naasu asytaatan
Yaumaidzin tuhadditsu akhbaarahaa
Yaumaidzin yashdurun-naasu asytaatan
(Ketika itu bumi mengisahkan kisah-kisahnya
Ketika itu manusia tumpah terpisah-pisah
'Tuk diperlihatkan perbuatan-perbuatan mereka)
Faman ya'mal mitsqaala dzarratin khairan yarah
Waman ya'mal mitsqaala dzarratin syarran yarah
Ya Tuhan, akukah insan yang bertanya-tanya
'Tuk diperlihatkan perbuatan-perbuatan mereka)
Faman ya'mal mitsqaala dzarratin khairan yarah
Waman ya'mal mitsqaala dzarratin syarran yarah
Ya Tuhan, akukah insan yang bertanya-tanya
Dan menembusnya ke tengah-tengah pasukan lawan)
(Penggetar hati
Apakah penggetar hati itu?
Tahu kau apa itu penggetar hati?)
Apakah penggetar hati itu?
Tahu kau apa itu penggetar hati?)
dan gunung-gunung bagaikan bulu dihambur-terbangkan)
Atau gunung-gunung dosa akan melumatnya
Telah selesai ayat-ayat dibaca
Telah sirna gema-gema sari tilawahnya
Telah sirna gema-gema sari tilawahnya
Masih banyak urusan dunia yang belum selesai
Masih banyak kepentingan yang belum tercapai
Masih banyak keinginan yang belum tergapai
Masih banyak kepentingan yang belum tercapai
Masih banyak keinginan yang belum tergapai
BAB IV
PENUTUP
4.1. Simpulan
Sebenarnya, penutur aku, dalam memercikkan maksudnya melalui puisi "Baju-baju", telah mengasumsikan apa yang dapat diharapkan dan dipahami pembaca tentang ungkapan-ungkapan si penutur tersebut. Itulah suatu presuposisi atau apa yang dipradugakan dan dimaksudkan oleh penutur (Brown dan Yule, 1983: 29). Senada dengan itu, Eco (1979: 6) juga menyatakan bahwa dalam mewujudkan intensinya, penulis (penutur) telah mengantisipasi pemahaman pembaca terhadap maksud penutur. Selaras dengan itu, teks puisi "Baju-baju" adalah wujud dari maksud serta pemikiran penulis yang dikemas sedemikian rupa dalam kohesi dan koherensi. Akan tetapi, teks puisi tersebut tidak dapat lepas dari konteks dan situasi, maka teks tersebut bersifat terbuka. Satu interpretasi atas makna "baju" dapat terus digemakan terhadap makna "baju-baju yang lain". Lyons (1981) menyebut teks yang demikian itu sebagai utterance-inscription (wujud ungkapan nyata) yang sedang dalam proses.
4.2. Daftar Pustaka
Bisri, K.H.A.M. 1991. Ohoi: Kumpulan Puisi-puisi Balsem. Jakarta: Pustaka Firdaus
Hoed, B.H. 1994. Wacana, Teks, dan Kalimat. Hlm. 125-136. Dalam Sihombing (ed.), Bahasawan Cendikia: Seuntai Karangan untuk Anotn M. Moeliono. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan PT Intermasa.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1997. Pengkajian puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Peursen, C.A. Van. 1990. Fakta, nilai, peristiwa. Jakarta: Gramedia.
Pradopo, R.D. 1985. Pengkajian Puisi: Bagian I dan II. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Share


0 komentar:
Posting Komentar