Menggagas Pimpinan Daerah Yang Ideal

23 Feb 2011

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Seorang pemimipin daerah yang ideal harus mempunyai kredibilitas dan elektabilitas yang tinggi. Kredibiltas tersebut melingkupi integritas dan memiliki kemampuan yang mumpuni. Sedangkan elektabilitas berkaitan dengan dukungan yang kuat dari masyarakat terhadap pemimpin daerah.
Demikian pendapat pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro Fitriyah, MA di Semarang, Minggu (14/2). “Pada prinsipnya, pemilihan umum (pemilu) langsung bertujuan untuk melahirkan pemimpin daerah yang mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat,” ujarnya. Pada pemilu langsung, rakyat bertanggung jawab kepada pilihannya dan yang dipilih juga harus bertanggung jawab terhadap pemilihnya.
Selain itu, pemimpin daerah juga harus responsif terhadap permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. “Dia juga harus mempunyai akuntabilitas yang tinggi,” kata Fitriyah. Hal tersebut supaya ia paham terhadap permasalahan daerahnya sehingga dapat menerjemahkannya ke dalam program yang sesuai dengan kondisi yang ada.
Menurut Firiyah, untuk melahirkan seorang pemimpin yang ideal, kuncinya ada pada media yang digunakan untuk proses rekrutmennya. Baik dari jalur partai politik maupun perseorangan harus melalui proses rekrutmen yang baik.Maksudnya, partai politik harus memilih calon yang mempunyai kredibilitas dan sesuai dengan harapan masyarakat. Sedangkan, jalur perseorangan harus didukung kuat oleh organisasi-organisasi kemasyarakatan.
“Seorang pemimpin daerah juga harus benar-benar mampu mengangkat sebuah perubahan yang baik,” ungkap Fitriyah. Karena seringkali program-program mereka tidak ada pengaruhnya.
Fitriyah juga mengatakan, pemimpin daerah yang baik harus bisa memberikan rasa nyaman kepada masyarakatnya. Misalnya, ketika mereka sakit dapat berobat dengan mudah, pelayanan publik pun tidak berbelit-belit, pendidikan yang berkualitas, dan lain-lain. “Dengan begitu akan menimbulkan kecintaan kepada daerahnya,” ujarnya
S.J. Woro Astuti dalam tulisannya “Meluruskan Demokrasi Lokal, Menggagas Kepemimpinan Daerah yang Ideal di Era Pilkada Langsung” mengungkapkan pernyataan Weber bahwa ada dua syarat yang harus dipenuhi agar demokrasi berjalan efektif. Pertama, adanya partai yang memiliki kepentingan dan pandangan berbeda. Jika partai-partai yang bersaing itu mirip satu sama lain maka masyarakat tidak akan bisa menggunakan hak pilihnya secara efektif. Kedua, harus ada pemimpin politis yang memiliki imajinasi dan semangat untuk mengatasi birokrasi yang menjemukan.
Itulah peran penting kepemimpinan dalam demokrasi. Namun kepemimpinan ini bukanlah pemimpin model orde lama dan orde baru yang sama-sama otoritarian dan menggunakan birokrasi sebagai alat mempertahankan kekuasaan. Kalaupun ada pelaksanaan fungsi kepemimpinan, tidak lebih dari tipe kepemimpinan transaksional, yang mana kepemimpinan ini dijalankan hanya melalui reward and punishment, sangat pragmatis, dan tidak memikirkan kepentingan rakyat yang lebih besar.
Namun pada kenyataannya, nilai-nilai kedua orde itu masih banyak mewarnai upaya penegakan demokrasi di era reformasi ini. Kuatnya dimensi patronase dapat dilihat dari pemilihan menteri-menteri kabinet yang bukan karena keahlian atau kecapakannya tetapi karena dia memiliki patron politik. Demikian juga di daerah, pemilihan sekretaris daerah, kepala-kepala dinas dan pejabat struktural lainnya lebih banyak didasarkan pada pertimbangan politik. Begitu pula DPRD, tidak berorientasi pada kepentingan masyarakat melainkan mengabdi pada kepentingan politik yang ada.
Untuk itu diperlukan tipe kepemimpinan transformasional dimana relasi yang dijalin antara pemimpin dan pengikut tidak semata-mata didasarkan pada reward and punishment melainkan lebih menekankan kepada peningkatan hubungan pemimpin dan pengikut, baik secara moral maupun motivasi timbal balik. Pemimpin model ini selalu berupaya mendorong pengikutnya untuk melepaskan kepentingan pribadinya, untuk kemudian secara bersama-sama menuju pencapaian visi kelompok yang lebih besar. Pemimpin ini selalu berusaha memperhatikan kebutuhan rakyatnya, selalu dekat dengan rakyat dan memberi pengaruh idealisme sebagai teladan dalam menjalankan tugas kepemimpinannya.
Prasyarat pertama untuk menjadi pemimpin transformasional adalah mengakui kebutuhan untuk melakukan perubahan, kemudian diikuti dengan penciptaan sebuah visi dan pelembagaan perubahan secara konsisten. Untuk itu pula pemimpin transformasional adalah seseorang yang memiliki keberanian menerima resiko dengan memulai perubahan bahkan perubahan yang paling fundamental sekalipun. Pemimpin yang memiliki dimensi transformasional ini dapat mengembangkan kreativitas dan inovasinya, jika kepadanya tidak diletakkan ‘beban’ berupa ‘hutang budi’ yang besar terhadap para konstitiuen dan para pendukungnya.
Syarat berikutnya untuk menjadi pemimpin transformasional ini adalah masalah efektifitas. Menjadi pemimpin yang efektif tidak tergantung pada gendernya, tetapi ada faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain: (1) pemilihan dan penempatan pemimpin; yaitu disesuaikan dengan gaya kepemimpinan yang dimilikinya, (2) pendidikan kepemimpinan; dengan menekankan agar pemimpin menampilkan sifat-sifat yang dikehendaki daam kadar yang lebih tinggi, (3) pemberian imbalan pada prestasi pemimpin dan bawahan, (4) teknik pengelolaan organisasi untuk menghadapi perubahan lingkungan, (5) membangun kolaborasi, dan (5) pemanfaatan teknologi.





















BAB II
PEMBAHASAN
A. KAJIAN TEORI
1. CIRI – CIRI PEMIMPIN IDEAL
Kepada siapa lagi kita berharap, kepada mereka (pemimpin) atau pada kebenaran yang hanya ada dilangit?(Drs Soe Hok Gie, Sejarawan, Eksponen 66).
Kepemimpinan (leadership) diartikan sebagai kemampuan untuk memegaruhi suatu kelompok guna mencapai visi atau serangkaian tujuan yang sudah ditetapkan. Kepemimpinan adalah kebutuhan dasar umat manusia,tetapi tidak sembarang pemimpin dapat melakukannya. Tidak mudah mencari sosok pemimpin ideal.
Selama ribuan tahun, tak terhitung banyaknya penobatan, kudeta, pelantikan, pemilu dan perubahan rezim. Raja, perdana menteri, pangeran, presiden, sekretaris jendral dan diktator datang silih berganti.
Sejarah membuktikan seorang penguasa biasanya akan mendapat respek dan dukungan rakyat jika ia memberi kadar kedamaian yang masuk akal dan kondisi hidup yang terjamin.  Jika rakyat hilang percaya, orang lain mungkin akan segera mengantikan. Kondisi hidup yang buruk, kediktatoran dan keinginan akan perubahan biasanya menjadi pemicu pergantian. Penulis mencoba mengurai ciri-ciri pemimpin yang ideal untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam memilih pemimpin efektif.

1.1. Karismatik
Bila kita menengok sejarah para pemimpin yang kuat seperti Napoleon, Mao Tze Tung, Churchil, Margaret Thatcher, Ronald Reagen, Bung Karno, Gandhi, semuanya merupakan orang-orang yang sering kali disebut sebagai pemimpin karismatik .
Apa yang dimaksud dengan kepemimpinan karismatik, ilmuwan dan sosiolog Max Weber punya definisi sendiri. Lebih dari seabad lalu ia mengatakan karismatik sebagai sifat dari seseorang yang membedakan mereka dari orang kebanyakan dan biasanya dipandang sebagai kemampuan atau kualitas supernatural. Artinya tidak dimiliki oleh orang biasa, karena merupakan kekuatan yang bersumber dari Ilahi.
Telaah literatur menunjukan adanya empat karakteristik sehubungan dengan pemimpin karismatik. Yaitu memiliki visi, bersedia mengambil risiko pribadi untuk mencapai visi tersebut, sensitif terhadap kebutuhan  bawahan dan memiliki prilaku yang luar biasa.
Indonesia pernah memiliki Bung karno yang masuk dalam kategori pemimpin karismatik. Memiliki visi memerdekakan Indonesia walau dengan risiko harus keluar masuk bui. Dia juga berani mengambil sikap demi mencapai visi.
Penulis berpendapat kepemimpinan karismatik merupakan salah satu dari jenis kategori ideal. Tetapi untuk mencari sosok pemimpin yang benar-benar ideal, karismatik saja belumlah cukup. Perlu kecerdasan emosional yang membuat kepemimpinan seseorang menjadi lebih efektif.


1.2. Kecerdasan Emosi
Selain sifat-sifat kepemimpinan yang ideal, perlu disertai kecerdasan emosional (emotional intelligence). Walaupun pemimpin memiliki pendidikan luar biasa, kemampuan analisis tajam, visi yang hebat dan ide-ide cemerlang, tetap saja tidak bisa menjadi pemimpin yang besar dan efektif jika tidak memiliki kecerdasan emosi.
Tetapi mengapa Emotional Intelligence begitu penting bagi kemimpinan yang efektif? Ini jawabnya, salah satu komponen inti Emotional Intelligence adalah empati.
Sejarawan Fred Greenstein mengadakan penelitian dan menunjukan Emotional Intelligence merupakan salah satu unsur terpenting untuk meramalkan kebesaran seorang pemimpin. Jelas argumen dari sejarawan ini bisa dikatakan benar, karena jika seorang pemimpin tidak memilki sifat empati dan mendengar apa yang dikatakan oleh bawahan ataupun masyarakat yang dipimpinnya, maka akan menjadikan dia pemimpin yang cendrung diktator.
Di Amerika Serikat, cendrung memilih pemimpin (presiden) yang memiliki Emotional Intelligence tinggi dibanding pemimpin yang cerdas dalam berpolitik. Hal ini nampak ketika George W Bush memenangkan Pemilu 2004, mengalahkan lawannya Jhon Kerry. Seorang komentator politik menjelaskan sikap mayoritas suara rakyat USA, “Rakyat menangkap bahwa Kerry memiliki Emotional Intelligence lebih rendah dari pada Bush. Walaupun Kerry memiliki kecerdasan politik yang lebih tinggi, tetapi Bush memiliki kecerdasan bangsa yang jauh lebih baik. Tercermin dari sikap Bush saat melakukan kampanye yang lebih memberi kesan secara emosional, berbicara dengan jelas, sederhana, penuh semangat dan Dia menang.“

1.3. Musuh utama
Masalahnya sekarang, musuh utama dari kepemimpinan yang efektif adalah kekuasaan yang dapat merubah visi utama dari seorang pemimpin. Kekuasaan selama ini dianggap sebagai kata yang paling kotor. Mereka yang mencoba dan belum mendapatkan kekuasaan akan terus mengejar. Mereka yang pandai mendapatkan akan merahasiakan cara untuk memenangkannya. Kita mungkin sudah mendengar ungkapan power corroupts,absolute power corroupts absolutely (kekuasaan itu korup dan kekuasaan penuh akan sepenuhnya korup).
Para pemimpin akan menggunakan kekuasaan sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan kelompok, dan kekuasaan adalah sarana untuk memudahkan usaha mereka. Kekuasaan terfokus bukan hanya pengaruh kepada pengikut atau bawahan, tapi melebarkan pengaruh ke samping atau dengan kata lain ingin menguasai secara menyeluruh. Padahal pemimpin memiliki keterbatasan sebagai pribadi-pribadi yang tidak sempurna.
1.4. Aspek Kepemimpinan yang  ideal
Pemimpin yang ideal harus memenuhi aspek-aspek kepribadian yang unggul. Berikut ini adalah ciri dari kepribadian seorang pemimpin yang ideal. Pertama: Memiliki integritas, berprilaku jujur dan lurus sehingga dapat menantang musuh-musuhnya dihadapan umum. Tidak munafik, sehingga masyarakat akan tergerak untuk menjadi pendukungnya (karismatik). Kedua: Peduli terhadap masyarakat, memberi dukungan moril, materil, penghiburan bagi orang-orang yang tertekan, mendengarkan dan empati (emotional Intellgence).Ketiga: Mau bekerja, menyelesaikan semua tugas-tugas sebagai seorang pemimpin, tanggap ketika rakyatnya membutuhkan pertolongan, mau melayani masyarakat bukan hanya dilayani turun kebawah).
Penulis melihat ciri-ciri dari sosok pemimpin yang ideal di atas, masih jauh dari kenyataan. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila banyak masyarakat hilang harapan untuk mendapatkan pemimpin ideal. Tapi bukan berarti sosok pemimpin yang ideal itu tidak ada.
B. MENCIPTAKAN IDEALISME PEMIMPIN DAERAH
Betapa sering kita menyaksikan bahwa apa yang disebut dengan kepemimpinan itu ternyata tidaklah bergantung kepada posisi atau jabatan seseorang. Kepala keluarga yang kurang mampu membina anak-anaknya, guru kelas yang tak dipatuhi para siswanya, ketua partai yang imbauannya tak dihiraukan konstituen, pemuka agama yang khutbahnya dianggap angin lalu oleh umat, direktur perusahaan yang setiap hari hanya memarahi dan mengancam anak buah, hingga jenderal yang tak piawai saat memberikan arahan, merupakan berbagai gambaran mengenai fenomena yang jamak ini. Bahkan ada pula kepala negara yang sebelum masa jabatannya berakhir, didesak untuk mengundurkan diri oleh rakyatnya sendiri walau terpilih secara sah konstitusional.
Padahal, bukankah semestinya dengan menyandang posisi pimpinan maka seseorang akan lebih mudah dalam memimpin orang lain? Bukankah dengan status yang disandangnya itu maka pengaruh yang diberikan kepada para pengikutnya akan menjadi lebih kuat? Hal ini ternyata tak selalu dapat berjalan demikian karena kepemimpinan itu sendiri tidaklah identik dengan sebuah posisi pimpinan, leadership is not a headship. Albert Einstein, Bunda Teresa, Konosuke Matsushita, Hasyim Asy’ari, Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr., dan banyak lagi tokoh pemimpin dunia lainnya di berbagai bidang, menjadi bukti yang nyata bahwa sesungguhnya pengaruh atas orang banyak dapat diperoleh walau tanpa jabatan penting kenegaraan sekalipun. Visi, integritas, keberanian, kepedulian, kebijaksanaan, semangat, komitmen, dan ketulusan, adalah kunci utama keberhasilan mereka di dalam memimpin, achievement of goals through voluntary followership.
Para tokoh pemimpin dunia tersebut tidaklah menunggu saat yang tepat untuk bertindak. Mereka tidak menunggu kaya, populer, atau berkuasa dahulu baru kemudian mewujudkan perubahan. Mereka tidak bersembunyi di menara gading melainkan hadir di tengah masyarakat. Mereka rela berkorban. Mereka memiliki pendirian teguh dan standar etika yang tinggi. Mereka juga para komunikator yang ulung akan pemikirannya. Mereka tekun membangun kapasitas kepemimpinannya dengan menghadapi kesulitan demi kesulitan. Mereka mengambil tanggung jawab untuk berperan semaksimal mungkin semasa hidupnya. Dan dengan menjalani hal-hal antara lain demikianlah, maka secara alamiah parainformal leaders akan dapat bertransformasi menjadi para world class leaders. Kepemimpinan yang telah mereka bangunpun menjadi lebih lengkap saat mereka pada akhirnya mengemban amanat sebagai pemimpin formal di masyarakat. Hal yang kemudian membuat kisah kepemimpinan mereka menjadi inspirasi sepanjang zaman. Meminjam istilah Paulo Coelho dalam karyanya The Alchemist, mereka telah menuliskan legenda pribadinya sebagai karya dan teladan yang amat bernilai bagi generasi sesudahnya.
Walaupun memang tak dapat dipungkiri bahwa kepemimpinan itu sendiri bersifat kontekstual, sehingga pemimpin yang dibutuhkan sebuah organisasi politik akan berbeda dengan organisasi pendidikan, keagamaan, bisnis, militer, kelompok tani, para artis, atau bahkan organisasi mafia, namun sifat dasar kepemimpinan tidaklah jauh berbeda satu dengan yang lainnya. Masyarakat manapun senantiasa membutuhkan sosok pemimpin dan panutan, terlebih lagi dalam menghadapi masa-masa sulit.
Kepemimpinan juga merupakan key success factor dari proses perubahan yang besar. Para pengikutpun akan dengan sukarela mendukung terjadinya suatu perubahan mengikuti kepemimpinan yang kuat. Hal mana yang keberhasilan pengembangannya dalam tinjauan para ahli di berbagai institusi terkemuka, antara lain Harvard University atau McKinsey Inc., tidaklah dibedakan oleh faktor jenis kelamin, IQ, status sosial ekonomi, agama, ataupun ras seseorang. Kepemimpinan yang kuat dapat dijalankan oleh semua orang baik mereka yang berkepribadian ekstrovert maupun introvert.
Kepemimpinan yang kuat pula akan dapat mengendalikan jalannya sistem. Walau tengah berada di dalam sistem yang sudah terbangun secara buruk sekalipun, seorang pemimpin yang kuat tidak akan dengan mudah untuk dapat terpengaruh. Begitupun sebaliknya, seberapapun bagusnya sebuah sistem dalam berbagai bentuk peraturan dan kebijakan yang berfungsi sebagai enabler di masyarakat, jika berada di tangan pemimpin yang tidak kuat, hanyalah merupakan kesia-siaan belaka. Betapa banyak produk UU yang dimiliki oleh suatu negara, namun tak kunjung terasa manfaatnya oleh rakyat bila tak dijalankan dengan sungguh-sungguh oleh mereka yang berwenang.
Sedang di tingkat perusahaan seringkali pula kita dengar, bahwa perencanaan strategis yang sangat baik haruslah diikuti dengan eksekusi terhadap pelaksanaannya, yang tak lain adalah kepemimpinan. Bahkan tak jarang pula kita amati bahwa seiring pergantian kepemimpinan, para pengikut kadang kala merindukan sosok pemimpinnya yang terdahulu, karena pemimpin yang saat ini sedang menjabat kurang terasa kepemimpinannya, walaupun dalam hal ini tak ada perubahan aturan main sama sekali. Hal ini tak lain dikarenakan setiap orang memiliki ciri khas kepemimpinannya masing-masing yang memberi dampak dan jejak berbeda kepada para pengikutnya.
Kepemimpinan adalah driver dari sebuah proses perubahan. Kepemimpinanlah yang mampu mengubah zaman jahiliyah menjadi peradaban madaniyah dalam sejarah penyebaran agama. Kepemimpinanlah yang menjadi kunci bagi terciptanya perdamaian atau peperangan dunia. Kepemimpinanlah pula yang dapat menentukan masa depan negara serta organisasi manapun. Dan kepemimpinan pulalah yang mampu menyukseskan penyelamatan fenomenal 33 penambang Chile pertengahan Oktober lalu, baik dari para penambang itu sendiri maupun para tim penyelamat.
Pada hakikatnya, kita semua merupakan pemimpin di muka bumi ini. Sembari terutama saya mengingatkan diri saya sendiri, apapun profesi, job title, serta kesibukan kita sehari-hari saat ini, marilah kita jalankan kepemimpinan kita di semua tingkat kehidupan secara maksimal dan dengan sebaik-baiknya. Apalagi, jika secara struktural formal saat ini diri kita merupakan pimpinan yang menjadi tumpuan harapan bagi begitu banyak orang. Sungguh, tiada seorang pun yang tahu kapan ‘saat’ yang telah ditentukan itu akan tiba. Namun semoga, jikalau esok pun adalah waktunya, kita tak menyimpan sesal dan berserah dengan kelapangan jiwa. Kepemimpinan kita, hidup kita, adalah sebuah legenda.





BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hanya sang Pemimpin yang baik yang dapat membawa masa depan yang lebih baik pula, pasalnya dari pemimpin inilah kita sebagai rakyat menggantungkan harapan masa depan yang lebih baik menuju kesejahteraan materil dan spriritual.
Ada beberapa ciri pemimpin yang ideal menurut penulis perlu diketengahkan guna menilai dan mencari kualitas pemimpin . yaitu Pemimpin yang bercirikan; Pertama Benar dan membawa kebenaran, ciri pemimpin ini dapat dilihat dari kehidupannya sehari-hari, dengan perkataan yang benar bukan sekedar janji politik yang menina-bobokan masyarakat yang tak pernah direalisasikan, Kedua Amanah, sebagai pemegang amanah yang diberikan masyarakat dalam pemilu, pemimpin hendaknya menjaga dan menjalankan amanah tersebut dengan sebaik-baiknya sesuai tata peraturan yang berlaku (the rule of the games). Ketiga mengayomi, selalu menyampaikan programnya guna mendapatkan peranserta masyarakat dan mengayomi masyarakatnya, sehingga terjalin hubungan yang baik dengan masyarakat yang dipimpinnya, keakraban ini diperlukan guna menyukseskan pelaksanaan tugasnya, Keempat Keteladanan, keteladanan pemimpin terlihat dari kehidupan sehari-hari, dia selalu memberikan teladan bagi anggota keluarganya dan bagi lingkungannya, perhatian baik dan jiwa sosialnya tidak muncul mendadak hanya saat menjelang pemilu melainkan selalu menghiasi setiap gerak-gerik hidupnya. mengingat dia berbuat baik didasari dengan sikap tulus dan ikhlas bukan mengharap balas jasa. Kelima Jujur, besarnya kekuasaan dan wewenang pada Pemimpin menyebabkan rawan terjadinya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, sehingga pemimpin perlu memiliki kejujuran agar dapat menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan kepentingan rakyat, keenam Berwibawa, sikap wibawa hanya akan lahir, bila seseorang memiliki jiwa kepemimpinan (Leadership), sebab seseorang mendapat jabatan yang tinggi belum tentu memiliki leadership. Ketujuh Tegas, sikap tegas perlu dimiliki oleh pemimpin terutama dalam bersikap dan dalam mengambil keputusan, dia harus cepat melihat kebawah, cepat mengambil keputusan dan cepat bertindak dengan tepat, kedelapan adil dan bijaksana, pemimpin yang adil dan bijaksana hanya akan memihak kepada kebenaran dan dia selalu bersikap proporsional, tidak membedakan orang berdasarkan keturunan, suku dan golongannya.
Dari beberapa ciri ideal pemimpin ini masyarakat dapat menentukan pilihannya, siapa yang dipilih masyarakat  untuk mewakilinya dilembaga legislatif.
Selain ciri ini perlu juga ditinjau track recordnya dengan memperhatikan ciri berikut; Pertama bila berkata, selalu dusta, ketidak sesuaian antara perkataan dengan perbuatannya, perkataan yang diucapkan tidak mengandung suatu kebenaran. Kedua bila berjanji, tak pernah ditepati, janji-janji yang terlalu muluk yang tak mungkin dapat dicapai dalam masa baktinya, baiknya dihindari, pasalnya masyarakat selalu mengingat janji-janji politik yang belum terealisasi walau dengan alasan “tak cukup waktu untuk merealisasikannya”, ketiga bila beri kepercayaan selalu mengkhianati, kepercayaan yang diberikan masyarakat dengan menconteng pemimpinnya merupakan amanah harus dijaga, kepercayaan untuk mewakili masyarakat di lembaga legislatif, berjuang untuk kesejahteraan masyarakat melalui penetapan peraturan-peraturan yang dilegislasi.


B. SARAN
Dalam realitas seperti ini, para pemimpin dan calon pemimpin daerah yang dibutuhkan masyarakat ke depan perlu berjiwa misioner, visioner, strategis, transformatif, autentik, dan etis. Pemimpin berjiwa strategis berorientasi pada misi dan visi yang bukan ditetapkan secara gegabah melainkan berdasarkan penelitian-penelitian independen. Betapa tidak, misi selalu menjawab pertanyaan fundamental: Mengapa kita berada di sini? Misi merupakan pernyataan yang mengandung prinsip utama atau tujuan mendasar pembangunan itu sendiri. Jika dibandingkan dengan sebuah perjalanan, misi merupakan tujuan akhir sebuah perjalanan. Visi, pada gilirannya ingin menjawab: Bagaimana agar misi tersebut akan diwujudkan pada masa mendatang? Karena itu ia dapat diibaratkan sebuah kompas, arah perjalanan yang akan ditempuh pembangunan itu sendiri.
Selanjutnya, misi dan visi saja tidak cukup. Ia harus bermata rantai dengan rencana strategis. Seperti visi, rencana strategis membayangkan sebuah kenyataan masa depan yang beda dari kenyataan sekarang. Namun, tidak seperti visi, rencana strategis menawarkan strategi yang sistematik untuk mewujudkan sesuatu yang ingin dicapai pada masa mendatang. Rencana keseluruhan dipetakan sejak awal secara spesifik sehingga keseluruhan proses dapat secara jelas dipaparkan. Berkaitan dengan ini, visi memang berorietasi pada tujuan, tetapi ia tidak selalu memetakan cara-cara yang jelas untuk mencapai tujuan tersebut, terutama jika tujuan yang ingin dicapai itu sesuatu yang tidak akan pernah dicapai. Rencana merupakan peta perjalanan. Ia berfungsi menyediakan rute, jadwal, dan bahkan waktu perjalanan yang akan ditempuh. Kemandulan pembangunan daerah pada umumnya bisa saja berakar, salah satunya, pada lemahnya aspek perencanaan dan kepemimpinan strategis . Selanjutnya, pemimpin dan calon pemimpin yang strategis perlu didukung model kepemimpinannya yang transformasional. Karena itu suatu daerah perlu seorang pemimpin dan calon pemimpin yang tidak hanya menjadi perumus tujuan dan penunjuk arah, tetapi seseorang yang mampu mengatur rencana strategis secara transformasional. Kekhasan pemimpin transformasional terletak pada fungsinya sebagai sumber inspirasi bagi pengikut untuk komitmen pada tujuan-tujuan bersama. Berbeda dengan tipe kepemimpinan transaksional yang ditandai dengan motif relasi pemimpin dan yang dipimpin untuk sebuah kerangka simbiosis mutualisme (saling menguntungkan), kepemimpinan transformasional pertama-tama berinteraksi dengan pengikutnya demi integritas dan tujuan bersama.
Seorang pemimpin transformasional dapat dikatakan autentik dan etis ketika dia berorentasi pada kualitas, nilai-nilai, dan tujuan sekaligus mampu menghargai aspek kemanusiaan. Ia lebih bersikap proaktif daripada reaktif dan secara kreatif menciptakan berbagai peluang yang mungkin untuk perbaikan agar tercapainya pemenuhan kebutuhan kemanusiaan.

Share

Artikel Terkait



0 komentar:

Refleksi © 2010 Template by:
Wardaniyanto Dot Com